Aku dan Bocah Cilik
Suatu hari, aku berada di sebuah kota yang asing. Kota besar dengan hiruk pikuk yang memekakkan telinga dengan semua histeria nya terasa menusuk-nusuk sekujur indera ku. Mataku terbelalak menyaksikan dunia baru yang ada di hadapanku ini. Masih tidak percaya dengan apa saja yang aku alami dan saksikan. Ternyata dunia ini begitu luas, bahkan luasnya tidak dapat kita ukur. Dan nasib adalah satu kata kunci yang menentukan di dunia mana kita akan singgah dan menetap. Misteri dalam kata nasib itu dimataku hanya akan menjadi misteri yang tidak akan pernah terungkap kecuali jika Tuhan berkenan memberikan jawaban.
Sekitar 17 tahun yang lalu, Tuhan menuntunku pada dunia asing yang lainnya. Saat itu aku masih terlalu kecil untuk bertanya-tanya tentang nasib, tentang dunia, tentang segalanya. Aku hanyalah bocah cilik berumur 4 tahun yang harus merantau di ujung timur Indonesia untuk menemani ibunya mempertahankan bahterai rumah tangganya yang sudah ada di ujung jurang. Apalah yang bocah umur 4 tahun itu mengerti tentang hidup ini. Yang ada di kepala bocah kecil itu hanya kebun bunga seperti yang ia lihat di serial kartun favoritnya, Teletubbies, boneka, dan permen manis. Namun, alih-alih memberikannya kesempatan untuk menyaksikan angan-angan manisnya itu, nasib malah melemparkannya ke dalam padang rumput yang gersang, dengan patung yang menyeramkan, dan obat pil yang pahit. Bocah kecil itu mengalami hari-hari yang sulit di dunia yang baru baginya. Ia terbiasa menelan pil pahit setiap kali kenyataan tidak sesuai dengan yang ia harapkan.
Aku masih ingat wajah bocah cilik itu. Matanya hitam bundar dan bersinar. Semua orang yang peka pasti bisa membaca apa yang tersirat dalam pikiran bocah cilik itu melalui matanya. Pipinya bersemu merah tiap kali terpapar sinar matahari. Mulutnya tipis dan seringnya hanya tertutup rapat diam tanpa ekspresi. Rambut hitam, ikal, dan panjangnya sering kali dikuncir atau dibiarkan terurai. Tidak banyak yang orang lain tahu tentang bocah cilik itu karena dia tidak pernah membuka mulutnya kecuali jika diminta. Dibalik parasnya yang seolah-olah tidak menyiratkan apa-apa, ada banyak sekali hal yang terjadi pada bocah itu yang membuatnya takut. Takut menghadapi dunia yang pada nyatanya tidak seperti tontonan televisi, penuh bunga, kupu-kupu dan balon. Dunia baru nya itu ternyata penuh kerikil, duri, dan lubang hitam yang dalam.
Tapi kerasnya dunia tidak membuat bocah cilik itu mengkerut. Entah mendapat kekuatan dari mana, bocah cilik itu percaya bahwa esok akan ada matahari baru yang dapat menyinari kebun bunganya yang gersang. Si bocah cilik selalu melihat akan ada harapan dalam hidupnya. Pasti ada air yang menyiram bunga itu, dan akan ada matahari yang menyinarinya. Malam tidak selamanya malam, kan? Setelah malam pasti akan ada esok menjelang, dengan matahari baru dan harapan baru. Bocah cilik tahu, mataharinya akan bersinar saat malamnya menghilang.
Membayangkan wajah polos si bocah cilik itu rasanya seperti ditampar. Dimana sekarang perginya keyakinan dan keberanian bocah cilik itu? Kenapa aku dengan tubuh yang sudah besar dan pengetahuan yang sudah diasah bertahun-tahun tapi masih takut dan kehilangan kepercayaan dirinya? Bocah cilik yang tidak tahu apa-apa itu dengan badannya yang mungil dan sakit-sakitan saja bisa mengantarkan aku sampai aku berusia 21 tahun dalam kondisi yang baik-baik saja. Bagaimana sekarang aku harus membalas kebaikan bocah cilik itu? Tidak mungkin dengan tubuh sebesar ini, akal pikir dan kemampuan yang aku miliki, aku merasa tidak lebih hebat dari bocah cilik itu.
Pikiran-pikiran itu mendorong langkah kaki ku berjalan memasuki sebuah ruangan dipenuhi orang-orang besar yang jauh lebih hebat. Aku duduk di dalam sebuah ruangan kaca dan dihadapkan pada keputusan besar dalam hidupku. Sekarang tiba saatnya aku menunjukkan pada dunia potensi yang ada dalam diriku. Sekarang adalah babak penentuan telah menjadi apa aku dan dalam wujud seperti apa aku saat ini. Apakah aku ini seekor ulat? Kupu-kupu? Atau tikus? Pandanganku behenti pada sebuah foto pantai yang digantung di dinding. Aku fokus pada tulisan yang ada dalam foto itu. Tulisan itu bilang janganlah kita khawatir dengan masa lalu karena tidak ada yang bisa kita lakukan untuk merubahnya. Jangan pula khawatir pada masa depan karena belum tentu akan terjadi. Khawatirlah pada saat ini. Momen ini. Nikmati momen ini seolah-olah ini adalah hari terakhirmu di dunia. Dengan begitu kamu akan melakukan yang terbaik dan masa depan yang baik pastinya menunggumu di depan sana. Seketika timbul pertanyaan dalam benakku, “Apakah ini yang ada dalam pikiran bocah cilik itu? Dia menikmati semua proses dalam hidupnya karena dia berorientasi pada present moment. Apa yang bisa dia dapatkan saat itu, itu yang dia syukuri. Besok akan ada rejeki yang bisa disyukuri lagi.”
Di dalam ruangan itu hanya ada aku sendiri, tapi aku bisa merasakan kehadiran bocah cilik itu di depanku. Matanya yang polos dan membelalak seolah-olah keheranan dengan perang yang kuciptakan dalam kepalaku. Dia pasti sedang mencemoohku dan menganggap aku adalah orang besar yang tidak kompeten. Malu rasanya aku berhadapan dengan bocah cilik itu. Aku beranikan diri membuka percakapan dengan si bocah cilik, “Ah, sudah sampai sejauh ini ya kamu? Hebat sekali lho!” dan bocah cilik itu pun tertawa memperlihatkan gigi kecilnya yang jarang-jarang. Hatiku mantap untuk menemani bocah cilik itu berpetualang di dunia baru yang lain dan membuka tabir nasib kami bersama-sama. Entah kemana kaki ini akan melangkah, entah pintu takdir mana yang akan terbuka, aku yakin aku dan si bocah cilik bisa menikmati semua misteri ini karena kami percaya akan ada matahari baru yang bersinar keesokan hari.
O.N.M.
Keep writing, kelak bocah cilik itu akan jadi perempuan kuat, berhasil dan pastinya bahagia. Logam mulia-intan sejenisnya cuma bisa terbentuk lewat tekanan dan himpitan, ditempat yang gelap dan dalam dia ditemukan dan yang pasti ia butuh proses dan tahapan yg panjang untuk kemudian dengan susah payah ditemukan dan akan sangat dihargai.
BalasHapus